rss
twitter
    Klik gambar burung ini dan follow Twitter saya! :))

Copy banner blog saya, ya.... :))

24 Desember 2010

puisi: .

.



Adakah yang memperhatikan?



Tanjungpinang, 17 Desember 2010

12 November 2010

puisi: Adilkah Tuhan?

MACAN JANTAN     MACAN BETINA MACAN JANTAN MACAN BETINA MACAN JANTAN MACAN BETINA
MACAN BETINA      MACAN JANTAN    MACAN BETINA      MACAN JANTAN    MACAN BETINA MACAN JANTAN
MACAN JANTAN     MACAN BETINA MACAN JANTAN MACAN BETINA     MACAN JANTAN     MACAN BETINA
MACAN BETINA      MACAN JANTAN zebra jantan zebra jantan     MACAN BETINA     MACAN JANTAN
MACAN JANTAN MACAN BETINA MACAN JANTAN MACAN BETINA MACAN JANTAN     MACAN BETINA
MACAN BETINA      MACAN JANTAN MACAN BETINA MACAN JANTAN MACAN BETINA MACAN JANTAN
MACAN JANTAN MACAN BETINA     MACAN JANTAN     MACAN BETINA MACAN JANTAN     MACAN BETINA

SINGA BETINA  SINGA JANTAN     SINGA BETINA  SINGA JANTAN  SINGA BETINA  SINGA JANTAN
SINGA JANTAN  SINGA BETINA  SINGA JANTAN SINGA BETINA SINGA JANTAN SINGA BETINA
SINGA BETINA SINGA JANTAN SINGA BETINA SINGA JANTAN SINGA BETINA SINGA JANTAN
SINGA JANTAN SINGA BETINA rusa betina   rusa betina SINGA JANTAN    SINGA BETINA
SINGA BETINA     SINGA JANTAN     SINGA BETINA     SINGA JANTAN     SINGA BETINA     SINGA JANTAN
SINGA JANTAN   SINGA BETINA      SINGA JANTAN    SINGA BETINA      SINGA JANTAN   SINGA BETINA
SINGA BETINA     SINGA JANTAN     SINGA BETINA SINGA JANTAN SINGA BETINA     SINGA JANTAN



Tanjungpinang, 12 November 2010
Didedikasikan untuk 3 orang teman saya. :')
Mencuri cara menulis Remy Sylado dalam puisi(?)-nya yang berjudul Individualisme dalam Kolektivisme.
Ampun... :p

9 Juni 2010

puisi: Berpulang



oleh: Bintang Pradipta

Ah...
Eh...
Hmmmphh...

Hah?
Heu?
Hiks...

Trala-la~
Trili-li~
Lu...
Le...

Kenapa?

...
bulan sabit
terbit
...
tersenyum
...
malam gelap
...





Tanjungpinang. 1 Januari 2010


30 Mei 2010

puisi: Tuhan



oleh: Bintang Pradipta

Aku melayang,
Dia menggandengku
Aku terjatuh,
Dia menggendongku

6
6
6
. . .





Tanjungpinang, 25 Desember 2009

29 Mei 2010

puisi: Abstrak



oleh: Bintang Pradipta

Terjun, jatuh, darat, luka
Lompat, cebur, renang, ujung

Satu, dua, tiga, lari
Senin, Rabu, Jumat, Minggu

Taruh hati dalam jantung
Buang jantung dalam paru
Bakar paru dalam jantung
Kubur jantung dalam hati

Usus anus lambung tinja
Air penis ginjal kencing
Sperma ovum lalu bunting
Kafan lenyap kubur timbun

Kaus kolor BH bakar
Tuas katrol senyum balik

Cinta Nita Gita Rita
Rita Cinta Nita Gita
Gita Rita Cinta Nita
Nita Gita Rita Cinta

“Tak perlu dimengerti, hanya perlu dinikmati
Karena cinta itu abstrak”

“Renungkan saja!”





Tanjungpinang, 22 Desember 2009

28 Mei 2010

Tentang Blog B



Ya, tidak salah lagi. Ini memang blog saya. Ah, maaf... saya lupa mengucapkan salam di awal, ya? Ya, sudah. Saya ucapkan selamat datang di blog saya saja, kalau kamu memang memaksa dan mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!".

Ummmm....
Ini blog saya....
Lalu, apa lagi?

Selamat datang di blog saya....
Jujur, saya tak begitu mengerti apa gunanya blog. Mungkin, supaya tidak dicap gaptek. Tapi, ya, sudahlah. Toh, sudah saya buat!

Selamat datang di blog saya....
Saya akan sangat senang bila kamu bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai).

Selamat datang di blog saya....
Saya akan sangat senang bila kamu bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai).
Saya juga akan lebih senang jika kamu mau membubuhkan kenang-kenangan berupa komentar pada puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai).
Apalagi jika komentar yang kamu berikan berisi kritik yang membangun.... Wah, kalau sudah begitu, saya hanya bisa mendoakan, semoga kamu masuk Surga.

Ah, tidak! Sama sekali tidak! Kamu yang tidak membubuhkan kenang-kenangan berupa komentar pada puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai) juga akan saya doakan untuk masuk ke Surga juga, kok!

Ya, tidak salah lagi. Ini memang blog saya. Ah, sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih sebelum kamu mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!".

Terakhir,
Selamat datang di blog saya....
Selamat mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!"....
Maaf dan terima kasih....

2 Mei 2010

cerpen: Akuan Dia(an)


Semua hanya berkedokkan agama, norma, moral, hukum. Tapi, pernahkah mereka mendengar jeritanku sebagai seorang korban pemerkosaan?

Semua hanya berkedokkan agama, norma, moral, hukum. Tapi, pernahkah mereka mendengar jeritan Maida sebagai seorang korban pemerkosaan?

      Bukan mauku. Bukan aku yang genit. Bukan aku yang memulai. Bukan! Bukan aku yang menggoda. Aku sama sekali tak tahu apa-apa sampai pria biadab itu menimpa tubuhku dan merampas keperawananku dengan penisnya yang belum disunat, penis terkutuknya yang bau amis itu!

      Bukan mau Maida. Bukan Maida yang genit. Bukan Maida yang memulai. Bukan! Bukan Maida yang menggoda. Dia sama sekali tak tahu apa-apa sampai pria biadab itu menimpa tubuh Maida dan merampas keperawanan Maida dengan penisnya yang belum disunat, penis terkutuknya yang bau amis. Salahkah Maida berwajah cantik, berkulit mulus, dan berbadan indah? Kenapa semua orang menghujatnya dan bukan menghujat si supir angkot tak tahu diri itu? Apakah hanya karena masalah gender? Apakah hanya karena Maida perempuan dan si supir angkot biadab itu adalah laki-laki?

      Aku sama sekali tidak salah.

      Maida sama sekali tidak salah.

      Tapi, terlanjur sudah aku diberi label ini-itu oleh masyarakat yang sampah! Terlanjur sudah aku dicampakkan, dikucilkan! Aku rusak, kini—dan, mereka masih saja menghujatku.

      Tapi, terlanjur sudah Maida diberi label ini-itu oleh masyarakat yang sampah! Terlanjur sudah Maida dicampakkan, dikucilkan! Maida rusak, kini—dan, mereka masih saja menghujat Maida yang sudah bersetubuh dengan apati.

      Ini bukan sinetron! Ini hidupku, ini takdirku.

      Ini bukan sinetron! Ini hidup Maida, ini takdirnya.

      “Rasanya cukup sekian dulu. Aku sudah lemas semalaman bekerja. Lebih baik tidur saja dulu, kumpulkan tenaga dan pikiran untuk besok,” kata wanita itu pada dirinya sendiri sambil mengucek matanya yang sudah tak bisa melek lagi. Memang, wanita itu suka sekali berbicara sendiri. Terkadang memang konyol. Tapi, dengan berbicara sendiri, wanita itu bisa menghilangkan kesepiannya, meski tak banyak membantu.

* * *

Semua berawal dari siang yang terik itu. Matahari yang sudah berada di puncaknya membakar kulitku, mengakibatkan pori-poriku memuntahkan keringat yang berbau kurang sedap.

Semua berawal dari siang yang terik itu. Matahari yang sudah berada di puncaknya membakar kulit Maida, mengakibatkan pori-pori Maida yang tak terhitung jumlahnya (hanya orang kurang kerjaan yang mau menghitung jumlah pori-pori) memuntahkan keringat yang berbau kurang sedap setelah terkontaminasi oleh bakteri yang berdansa bebas di udara yang tidak steril.

      Siang itu, aku harus pulang dengan angkot, untuk pertama kalinya dalam hidupku karena biasanya aku dijemput oleh ayah dengan motor bebeknya yang mesinnya sudah sebising kentut cempreng. Saat mengantarkanku ke sekolah, ayah memang sudah berpesan, “Nanti kau pulang sendiri, lah, pakai angkot!” Logat Batak-nya yang lantang sungguh kental, mengornameni kalimatnya yang singkat, padat, dan jelas.

      Siang itu, Maida harus pulang dengan angkot, untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya karena biasanya dia dijemput oleh Ayah dengan motor bebek yang mesinnya sudah sebising kentut cempreng—PRREEEEEETTT!!!—tapi tetap berfungsi dan dapat beroperasi dengan baik. Saat mengantarkan Maida ke sekolah, Ayah memang sudah berpesan, “Nanti kau pulang sendiri, lah, pakai angkot!” Logat Batak-nya yang lantang sungguh kental, mengornameni kalimatnya yang singkat, padat, dan jelas—jelas maksudnya, tapi tidak dengan alasannya. Mabuk-mabukan lagikah seperti biasanya?

      Aku pusing saat itu. Tak pernah aku pulang sendiri, pakai angkot pula! Sebenarnya, timbul keinginan untuk jalan kaki. Tapi, jarak rumah dengan sekolahku cukup jauh. Ingin naik ojek, uang tidak cukup. Menumpang teman, ah, segan juga. Akhirnya, aku benar-benar naik angkot.

      Maida pusing saat itu. Tak pernah dia pulang sendiri, pakai angkot pula! Sebenarnya, timbul keinginan untuk jalan kaki saja. Tapi, jarak rumah dengan sekolahnya cukup jauh. Ingin naik ojek, BAH!—mana cukup uangnya! Menumpang teman, ah, segan juga. Akhirnya, Maida benar-benar naik angkot.

      Angkot yang kecil dan jorok itu terasa pengap. Semua penumpang yang ternyata adalah siswa-siswi SMA mengipasi diri mereka dengan kipas dadakan: buku tulis lecek. Aku pun ikut mengipasi diriku sendiri. Tak mungkin aku tahan duduk lama di angkot pengap itu tanpa kesejukan sama sekali.

      Angkot yang kecil dan jorok itu terasa pengap. Hampir semua penumpang yang merupakan siswa-siswi SMA mengipasi diri mereka dengan kipas dadakan: buku tulis yang lecek. Maida yang murid SMP sendiri pun ikut-ikutan. Tak mungkin dia tahan duduk lama di angkot pengap itu tanpa kesejukan sama sekali.

      Lalu, satu-persatu penumpang meninggalkan angkot dan tinggallah aku seorang diri bersama si supir angkot yang sebentar-sebentar melirik ke arahku lewat kaca spionnya yang digantungi tasbih hijau yang indah. Sudah barang tentu aku risih dipandangi begitu. Aku hanya duduk diam di pojok sampai aku menyadari bahwa jalan yang dilewati angkot itu adalah jalan yang asing. Tak pernah aku melewati jalan itu. Jalannya masih diselimuti tanah merah yang becek dan lengket, juga licin. Kanan-kiri jalan tak didapati perumahan, melainkan pepohonan kerontang dan semak-semak gosong.

      Lalu, satu-persatu penumpang meninggalkan angkot dan tinggallah Maida seorang diri, hanya bertemankan seorang supir angkot yang sebentar-sebentar melirik ke arah Maida dengan genit lewat kaca spion belakang yang digantungi tasbih hijau muda yang indah. Sudah barang tentu Maida risih bila dipandang dengan cara begitu. Dia hanya duduk diam di pojok sampai dia menyadari bahwa jalan yang dilewati angkot itu adalah jalan yang asing baginya. Tak pernah Maida melewati jalan itu. Jalannya masih diselimuti tanah merah yang becek dan lengket, juga licin. Kanan-kiri jalan tak didapati perumahan, melainkan pepohonan kerontang dan semak-semak gosong.

      “Bang, Hang Tuah bukan lewat jalan ini,” aku mencoba tenang.

      “Bang, Hang Tuan bukan lewat jalan ini,” Maida mencoba untuk tetap tenang meski perasaannya sudah tak enak.

      “Kita tidak akan pergi ke rumahmu, Adik Manis,” si supir angkot tersenyum mesum. “Aku mau melepas nafsu berahi. Istriku bertengkar denganku dan menolak melayaniku....”

      “Kita tidak akan pergi ke rumahmu, Adik Manis,” si supir angkot tersenyum mesum. “Aku mau melepas nafsu berahi. Istriku bertengkar denganku dan menolak melayaniku....”

      Aku tak tahu lagi apa yang dia bicarakan. Telingaku berdengung memekakkan. Tungkai kakiku gemetar hebat. Telapak tanganku terasa dingin meski berkeringat. Wajahku (mungkin) pucat pasi. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Melompat lewat pintu? KONYOL SEKALI! Aku hanya akan mati dengan leher patah dan kepala mengeluarkan saus tomat. Berteriak? Hah, siapa yang akan mendengar teriakanku? Jalan itu terlalu sepi. Tak ada yang berlalu-lalang kecuali burung-burung yang tak aku kenal spesiesnya.

      Maida tak tahu lagi apa yang supir angkot itu bicarakan. Telinganya berdengung memekakkan. Kedua tungkai kakinya gemetar hebat. Telapak tangannya terasa dingin meski basah karena keringat. Wajahnya pucat pasi. Maida tak tahu apa yang harus dia perbuat. Melompat lewat pintu? KONYOL SEKALI! Dia hanya akan mati dengan leher patah dan kepala mengeluarkan saus tomat. Berteriak? Hah, siapa yang akan mendengar teriakkannya? Wong, jalannya sepi begini. Tak ada yang berlalu-lalang kecuali burung-burung yang tak Maida kenal genus maupun spesiesnya.

      “Bang, tolong, Bang. Jangan apa-apain saya,” kataku memohon dengan mata yang perih karena ketakutan.

      “Bang, tolong, Bang. Jangan apa-apain saya,” kata Maida memohon dengan mata yang terasa perih karena ketakutan, ingin menangis.

      Melihat ketakutanku, supir angkot itu tampaknya malah semakin bernafsu. Dia gila, pikirku. Dia senang bila aku ketakutan. Maka, aku hanya diam sambil memikirkan cara untuk kabur.

      Melihat Maida yang ketakutan, supir angkot itu tampaknya semakin bernafsu. Dia gila, pikir Maida. Dia senang bila aku ketakutan. Maka, Maida hanya diam sambil memikirkan cara untuk kabur.

      Supir angkot menginjak pedal rem. Angkot berhenti di tengah jalan. Tanpa babibu, aku langsung melompat keluar dari angkot dan berlari sekencang yang kubisa. Tapi, staminaku rendah. Supir angkot yang ternyata mengejarku itu berhasil menarik tangan kiriku dan menyeretku. Aku hanya dapat meronta sebisaku meski aku tahu aku tak akan bisa bebas lagi.

      Supir angkot menginjak pedal rem. Angkot berhenti di tengah jalan. Tanpa babibu, Maida langsung melompat keluar dari angkot dan berlari sekencang yang dia bisa. Tapi, staminanya rendah. Supir angkot yang ternyata mengejar Maida berhasil menarik tangan Maida dan menyeretnya. Maida hanya dapat meronta sebisanya meski dia tahu dia tak akan bisa kabur lagi.

      Dia mengikat tangan dan kakiku dengan tali, tak begitu kencang—sehingga darah dalam tubuhku masih dapat beredar—tapi, susah melepaskan simpulnya. Mulutku pun direkatkan dengan isolasi besar. Entah dari mana semua alat itu dia dapatkan. Mungkinkah sopir angkot itu rutin melakukan hal itu pada penumpang terakhirnya yang wanita? aku bergidik saat itu. Mungkinkah dia seorang psikopat? Atau, seorang nekrofilia yang akan memerkosaku setelah membunuhku?

      Si supir angkot mengikat tangan dan kaki Maida dengan tali, tak begitu kencang—sehingga darah di dalam tubuh Maida masih dapat beredar—tapi, susah untuk melepaskan simpulnya. Mulut Maida direkatkan dengan isolasi besar. Entah dari mana semua alat itu didapatkan si sopir angkot. Mungkinkah dia rutin melakukan hal ini pada penumpang terakhirnya yang wanita? Maida bergidik. Mungkinkah dia seorang psikopat? Atau, seorang nekrofilia yang akan memerkosaku setelah membunuhku?

      Terjawab sudah semua pertanyaan di benakku ketika dia menggendong tubuhku dan meletakkanku di balik semak-semak agar tersembunyi dari pandangan. Lalu, dia mulai menelanjangiku. Dia meremas buah dadaku yang belum mekar sempurna. Dia memasukkan kepalanya yang berkeringat ke dalam rokku, lalu membuka celana dalamku dan mengintip kemaluanku sambil cekikikan. Sakit jiwa! pikirku saat itu. Aku merinding, takut, dan bajuku makin basah dengan keringat dingin yang mengalir.

      Terjawab sudah semua pertanyaan di benak Maida ketika si supir angkot menggendong tubuh Maida yang lemas dan meletakkannya di balik semak-semak agar tersembunyu dari pandangan. Lalu, dia mulai menelanjangi Maida, meremas buah dadanya yang belum mekar sempurna. Kemudian, memasukkan kepalanya ke dalam rok Maida dan membuka celana dalamnya, mengintip kemaluan remaja berusia 14 tahun itu sambil cekikikan. Sakit jiwa! pikir Maida yang merinding ketakuran dengan pakaian yang basah karena keringat dingin yang mengalir sederas Air Terjun Victoria.

      Supir angkot itu lalu abrit-abritan membuka pakaiannya dan dapat kulihat penisnya yang belum disunat itu berdiri mengerikan. Lalu, perlahan dia memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluanku. Dia merebut keperawananku. Sakit sekali!

      Supir angkot itu lalu abrit-abritan membuka pakaiannya sendiri, memamerkan penisnya yang belum disunat dan berdiri dengan cara yang mengerikan. Lalu, perlahan dia memasukkan penisnya ke dalam vagina Maida. Dia merebut keperawanan Maida.

      Dia mengguncang-guncangkan tubuhnya, naik-turun dengan tempo yang tak tentu dan dengan ritme desahan yang menjijikkan. Tak lama kemudian, aku pingsan. Oh, aku tak tahu apakah itu pingsan namanya. Tapi, yang kutahu gelap bersemayam di balik kelopak mataku saat itu. Rasanya seperti tidur, tidur tanpa mimpi. Kata orang, itu namanya pingsan. Tapi, bagaimanakah menurut KBBI?

      Si supir angkot mengguncang-guncangkan tubuhnya, naik-turun dengan tempo yang tak tentu dan ritme desahan stacatto yang menjijikkan bagi Maida. Tapi, tak lama kemudian, Maida pingsan. Hanya gelap yang bersemayam di balik kelopak matanya saat itu, selama beberapa waktu lamanya.

      Aku bangun keesokan harinya, subuh. Adzan di kejauhan berkumandang. Tetap lantang dalam kesunyian, merajai segala bebunyian, mengalahkan koakan gagak yang menyakitkan telinga. Sejuk rasanya hati mendengar adzan yang suci. Tapi, tiba-tiba aku tersadar, aku bukan di ranjangku, melainkan di antara semak yang menggatalkan tubuhku. Arg, badanku sakit!

      Maida bangun keesokan harinya, subuh. Adzan di kejauhan berkumandang. Tetap lantang dalam kesunyian pagi yang buta. merajai segala bebunyian, mengalahkan koakan gagak yang menyakitkan telinga, kalau di tempat itu ada gagak. Sejuk rasanya hati Maida mendengar adzan yang suci mengguyur perasaannya. Tapi, tiba-tiba dia tersadar, dia bukan terbaring di atas ranjangnya, melainkan di antasa semak yang menggatalkan tubuhnya. Badannya sakit, tapi lebih sakit hatinya. yang serasa diiris sembilu ketika didapatinya jalur aliran darah yang mengering di pahanya. Dia tak perawan lagi, tak suci lagi.

      Pintu diketuk dari luar.
      Pas sekali waktunya tiba! Jangan bilang dia lupa bawa KTP lagi! Alasan yang tak bermutu!

* * *

Ayah dan Ibu tahu bahwa aku sudah tak perawan. Tapi, mereka tak mau menerima alasan dariku. Mereka tetap berkeras bahwa aku yang memerkosa, bukan diperkosa. Mereka bilang, aku gatal. Mereka bilang, aku yang memulai. Mereka bilang, aku pamer tetek. Dan, mereka bilang, mereka tak akan lapor polisi karena pihak yang bersalah adalah aku sendiri. “Tak ada penjahat yang melaporkan diri sendiri!”

Ayah dan Ibu tahu bahwa Maida sudah tak perawan. Tapi, mereka tak mau menerima alasan Maida. Mereka tetap berkeras bahwa Maidalah yang memerkosa, bukan diperkosa. Mereka bilang, Maida gatal. Mereka bilang, Maida yang memulai. Mereka bilang, Maida yang pamer tetek. Mereka juga bilang, Maida perempuan sundal. Dan, mereka bilang, mereka tak akan lapor polisi karena yang bersalah adalah Maida sendiri. “Tak ada penjahat yang melaporkan diri sendiri!”

      Awalnya tak ada yang tahu kalau aku sudah tak perawan lagi. Tapi, ketika suatu hari aku menolak untuk menceboki Arif—adikku yang saat itu berusia 10 tahun—dia malah menceritakan kepada tetangga yang bermulut ember. Habislah, orang sekota tahu kalau aku sudah tak perawan lagi, kalau aku yang menggoda supir angkot, dan terakhir yang kudengar, aku menggoda supir angkot dengan bayaran Rp10.000 saja. Sungguh gosip murahan!

      Awalnya tak ada yang tahu kalau Maida sudah tak perawan. Tapi, ketika suatu hari dia menolak untuk menceboki Arif—adiknya yang saat itu berusia 10 tahun—Arif malah menceritakan kepada tetangga yang bermulut ember kalau Maida menggoda supir angkot. Habislah, orang sekota tahu kalau Maida sudah tak perawan, kalau Maida menggoda supir angkot, dan yang terakhir Maida dengar, Maida menggoda supir angkot dengan bayaran Rp10.000 saja. Sungguh gosip murahan!

      Semua tak berhenti di situ saja. Tak hanya cibiran dari tetangga yang sok suci saja yang kudapat tiap pagi. Tiba di sekolah, segeralah aku dipanggil menghadap kepala sekolah dan tahulah aku bahwa aku akan didepak dari sekolah, minimal diskors 1 bulan.

      Semua tak berhenti di situ saja. Tak hanya cibiran dari tetangga yang sok suci saja yang Maida dapat tiap pagi. Tiba di sekolah, segeralah Maida dipanggil menghadap kepala sekolah dan tahulah dia bahwa dia akan didepak dari sekolah, atau minimal diskors 1 bulan.

      Ternyata benar dugaanku. Aku memang dikeluarkan dari sekolah karena telah mencemarkan nama baik sekolah dengan tindakanku yang tidak terpuji. Aku diberikan sebuah surat dalam amplop yang harus kuberikan kepada orang tua sepulang sekolah. Halah, paling-paling juga isinya hanya tetek-bengek!

      Ternyata benar dugaan Maida. Dia memang dikeluarkan dari sekolah karena telah mencemarkan nama baik sekolah dengan tindakannya yang (katanya) tidak terpuji. Dia dititipi secarik surat dalam amplop yang harus dia berikan kepada orang tuanyanya sepulang sekolah.

      Maka, pulang sekolah, aku memberikan surat itu pada Ayah. Setelah Ayah—yang telah menganggur—membaca isi surat itu, segera dia menampar pipiku dengan kekuatan beruang dan menendang perutku dengan tenaga kuda.

      Maka, sepulang sekolah, Maida memberikan surat itu pada Ayahnya. Setelah Ayahnya—yang telah di-PHK karena suka mabuk-mabukan hingga pernah memukuli seorang karyawan sampai patah kaki—membaca isi surat itu, segera dia menampar pipi Maida dengan kekuatan beruang dan menendang perut Maida dengan tenaga kuda.

      Perutku terasa sakit. Lalu, darah pun menetes keluar dari kemaluanku. Aku keguguran. Tapi, sejak kapan aku punya bayi dalam kandungan? Aku tak pernah mual sehingga aku tak pernah curiga dan cek ke dokter atau sekedar tes kencing dengan testpack murahan.

      Perut Maida terasa sakit. Lalu, darah pun menetes keluar dari kemaluannya. Dia keguguran. Tapi, sejak kapan dia punya bayi dalam kandungan? Dia tak pernah mual sehingga tak pernah curiga dan cek ke dokter atau sekedar tes kencing dengan testpack murahan.

      “Bagus! Rupanya kau hamil! Untung aku sempat menendang perutmu sebelum kau buncit karena bunting!”

      “Bagus! Rupanya kau hamil! Untung aku sempat menendang perutmu sebelum kau buncit karena bunting!”

      Ayah biadab! Sempat-sempatnya dia berkata demikian. Alkohol sudah menerbalikkan otaknya.

      Ayah biadab! Sempat-sempatnya dia berkata demikian. Alkohol sudah merusak otaknya sebelum perlahan-lahan mengeraskan hatinya.

      Ibu yang saat itu di masih bekerja di pabrik tekstil tak bisa ikut-ikutan Ayah, membantu Ayah menghajarku. Untunglah.

      Ibu yang saat itu masih bekerja di pabrik tekstil tak bisa ikut-ikutan Ayah, membantu Ayah menghajar Maida.

      “Sekarang kau keluar dari rumah ini! Bawa barang-barang kotormu dan pergi! PERGI dari rumah ini! Dan, ingat, jangan pernah pamerkan lagi margamu. Marga keluarga ini suci, tak untuk orang sekotor kau! Sundal!” Ayah menegak lagi alkoholnya. Mungkin, botol yang kesepuluh.

      “Sekarang kau keluar dari rumah ini! Bawa barang-barang kotormu dan pergi! PERGI dari rumah ini! Dan, ingat jangan pernah pamerkan lagi margamu. Marga keluarga ini suci, tak untuk orang sekotor kau! SUNDAL!” Ayah menegak lagi alkoholnya, botol kesepuluh.

      Ah, makin kacau saja! Huh!

* * *

Dan, sekarang di sinilah aku. Rumahku, (bukan) istanaku karena pria-pria buncit bebas keluar-masuk kapan saja untuk menikmati vaginaku, tentunya dengan bayaran minimal Rp200.000  per malam, belum termasuk tip yang harus diberikan kalau mereka orgasme.

Dan, sekarang di sinilah Maida. Rumahnya, (bukan) istananya karena pria-pria buncit bebas keluar-masuk kapan saja untuk menikmati vagina Maida yang sudah divaginoplasti, tentunya dengan tarif minimal Rp200.000 per malam, belum termasuk tip yang semestinya diberikan kalau mereka orgasme.

      Tapi, terkadang ada pula pria pelit yang tak mau memberikan tip meski sudah dilayani sedemikian rupa.

      Tapi, terkadang ada pula pria pelit yang tak mau memberikan tip meski sudah dilayani sampai ah ih uh orgasme.

      Dari situlah, aku belajar: lihat dulu KTP pelanggan sebelum melayani. Catat alamatnya. Tak ada tip, berarti lapor kepada istri. Gampang, kan?

      Dari situlah, Maida belajar: lihat dulu KTP pelanggan sebelum melayani. Catat alamatnya. Tak ada tip, berarti lapor kepada istri. Gampang, kan?

      Ah, selesai!

* * *

“Nyonya Hutabarat. Hhh! Ngko1 suka nulis juga, ya?”
      “Dari mana ngko tahu margaku?!”
      “Kan, ngko sendiri yang nyelipin KTP ngko di antara tulisan ngko.”
      “Kenapa ngko buka-buka?! Itu masa laluku, Jo!”
      “Aku tak peduli masa lalu ngko. Aku tak peduli kalau ngko dulu diperkoskos supir angkot. Aku tak peduli. Aku cinta ngko!”
      “Ngko cuma mau pepekku!”
      “Ngko salah! Kalau aku cuma mau pepekmu, kenapa aku tak pernah tidurin ngko?! Aku cinta ngko, Maida.”
      “Aku cuma lonte!”
      “Aku tak peduli, nak2 ngko itu lonte, nak ngko itu manager hotel, aku cinta ngko. Ngko mau, kan, terima cintaku?”
      “Aku tak tahulah. Ngko punya istri dan dua anak di rumah. Kasihan mereka.”
      “Aku sudah cerai istriku sebulan yang lalu, setelah aku lihat ngko untuk yang pertama kalinya.”
      “Ngko bohong! Dan, aku pun tak mau lagi jatuh cinta. Ngko pergi saja, lah! Aku tak bisa! Maaf, Jo! Aku tak bisa.”





Tanjungpinang, April 2010

1     Kamu, engkau
2     Mau

29 April 2010

cerpen: (Bukan) Salah-Nya


curhat: Hari Ketiga/Hari Terakhir          4 Jan 2009
diposkan oleh: Wanita Lesbi

Ini curahan hatiku, yang terakhir....
Tadi pagi, aku mengaku dosa di gereja....
Sekarang, aku mengetik curahan hatiku yang terakhir....
Nanti malam, aku akan bunuh diri... dengan menelan pil, sebotol penuh....
Selamat tinggal kepada dunia dan kalian!
Aku tak ingin berdosa lagi dengan menghujat Tuhan....
Aku tahu menghujat Tuhan bukanlah sesuatu yang mendatangkan pahala, melaikan dosa....
Aku tahu: aku sudah tidak tahu diri....
Aku ingin berhenti menghujat Tuhan....
Tapi, aku rasa, aku tak akan sanggup untuk tidak melakukan hal itu, terlebih untuk melanggar sumpahku: menghujat Tuhan sampai mati....
Sungguh, aku tak bisa melanggar sumpahku meski aku ingin....
Satu-satunya cara bagiku untuk berhenti menghujat Tuhan adalah dengan mengakhiri hidupku....
Terima kasih dan maaf kepada Elsa Kenyko dan Ve yang sudah cukup membantuku. Terima kasih kepada para pengirim SMS yang mau menampung curahan hatiku (maaf, aku tak bisa menampilkan bincang-bincang kita karena kurang berkesan, menurutku). Terima kasih pula kepada para pembaca yang sudah memberikan solusi dan makian lewat kolom komentar yang disediakan oleh Blogger.com. Juga, kepada Tuhan yang sudah menciptakanku sebagai seorang lesbian sejak lahir. Semoga blog ini akan kekal. Amin, ya, Tuhan.... Maaf karena aku sudah terlalu sering menghujat-Mu....
Selamat tinggal, sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya....


        category: curhat wanita lesbi     komentar: 116 komentar
rate:                        5 (9)                        4 (2)                        3 (4)                        2 (94)                      1 (22)



curhat: Hari Kedua                                   3 Jan 2009
diposkan oleh: Wanita Lesbi

Sebuah SMS masuk ke ponsel saya semalam, kira-kira jam 20.00 WIB. Peng-SMS mengaku berada di Jepara, Jawa Tengah saat itu dan baru berumur 15 tahun lebih 2 hari. Wanita itu memiliki BMI normal, tapi nyaris mencapai overweight: 24 yang artinya dia bertinggi 156cm dengan berat 57kg. Namanya Maria Felicia dan kerap dipanggil Ve oleh keluarga, guru, teman, dan tetangga, bahkan pedagang di pasar tradisional dan jemaat-jemaat Gereja. Ayahnya seorang pastor dan Ibunya seorang guru TK. Mendengar identitasnya, saya cukup tertarik. Ve pasti berasal dari keluarga baik-baik.

from: +6285290577***
met malam!
blogmu menarik.

to: +6285290577***
Thank you much!
Mau menampung curhat saya?

from: +6285290577***
yup!

to: +6285290577***
Tapi, dimohon menggunakan kata-kata yang baku, ya? Soalnya, mau saya masukkan ke blog saya. Keberatan?

from: +6285290577***
Tidak.

to: +6285290577***
Baiklah. Terima kasih.
Mulailah dengan identitas Anda!
PS: Dilarang menanyakan identitas saya! Ini peraturan (dan saya yakin kamu sudah mengetahuinya). Dan, dengan membalas SMS ini, berarti kamu bersedia identitas dan SMS-mu dicantumkan di blog, kalau berkesan untuk saya.

from: +6285290577***
Nama saya Maria Felicia. Umur saya 15 tahun lebih 2 hari, jadi hitung sendiri kapan saya lahir. Saya tinggal di Jepara, Jawa Tengah, terkenal dengan pahatan-pahatannya yang indah dan sudah diekspor ke mana-mana. Keluarga, teman, guru, tetangga, pedagang di pasar, semua, memanggil saya dengan sebutan Ve dan beberapa memanggilku Vi. Tapi, tak masalah dengan nama panggilan, yang penting kepribadian.

to: +6285290577***
Menarik.
Apa pekerjaan orang tuamu?

from: +6285290577***
Ayah seorang pastor dan Ibu seorang guru TK Katolik.

to: +6285290577***
Jadi, kamu beragama Katolik? Percaya kepada Kristus, Sang Juru Selamat?

from: +6285290577***
Ya.

to: +6285290577***
Saya juga, tapi itu dulu. Sekarang, saya sudah tak percaya lagi kepada Tuhan.
Ngomong-ngomong, berapa berat badan dan tinggi Anda? Hobi atau minat? Cita-cita?

from: +6285290577***
57kg, 156cm. Hobi saya nyanyi dan saya ikut koor di gereja dan sekolah sedangkan cita-cita saya menjadi psikiater.

to: +6285290577***
Psikiater?
Hmmm... jadi mau kuliah kedokteran?

from: +6285290577***
Psikologi, Mbak.

to: +6285290577***
Bukannya psikiater belajar kedokteran? Psikolog baru belajar psikologi?

from: +6285290577***
Wah, iya, ya? Baru tahu. Haha...

to: +6285290577***
Anda percaya bahwa Tuhan itu ada? Anda sayang kepada Tuhan? Anda menghormatinya?

from: +6285290577***
Ya, ya, ya.
Sangat, sekali, banget!

to: +6285290577***
Kalau saya: ya, tidak, tidak.

from: +6285290577***
Kenapa?

to: +6285290577***
Dia telah menciptakan saya menjadi seorang lesbian sejak lahir tanpa saya minta. Apakah itu yang namanya patut untuk disayangi dan dihormati?

from: +6285290577***
Dia tidak bermaksud begitu, percayalah. Coba baca novel Mira W. yang berjudul Relung-Relung Gelap Hati Sisi.

to: +6285290577***
Saya sudah membacanya. Jadi, maksud kamu saya adalah produk rusak? Ciih! Saya bukan produk rusak! Produk rusak adalah produk yang rusak tanpa disengaja, sedangkan saya adalah produk yang sengaja dirusak oleh Penciptanya sendiri! Tuhan kejam!

from: +6285290577***
Sebenarnya, yang bersalah adalah manusia.

to: +6285290577***
Bukan seperti itu. Mana mungkin seperti itu! Wong manusianya tidak tahu apa-apa, kok! Tuhan memang tidak pernah adil kepada saya. Dia menciptakan saya sebagai seorang lesbian sehingga saya dikucilkan dari masyarakat dan dianggap sampah! Kenapa saya harus dibuat menjadi lesbian sejak lahir? Dia memang berencana untuk membuat hidup saya menderita sedari Dia menciptakan apa yang disebut homoseksual!

from: +6285290577***
Dosalah kamu karena sudah menghujat Tuhan! Dia punya rencana indah di balik semua ini!

to: +6285290577***
Ciih! Klise sekali! Rencana indah?! Haha, jangan kamu kutip kalimat sinetron religi untuk saya! TIDAK MEMPAN karena sisa hidup saya hanya akan saya gunakan untuk mengorek-ngorek kesalahan-Nya! Ini semua salah-Nya!

from: +6285290577***
Ini semua bukan salah-Nya! Tuhan tak pernah punya salah karena Dia sempurna! Camkan itu!

to: +6285290577***
Kalau Dia tak punya salah, lalu apa yang dinamakan ‘membuat hidup orang lain menderita’? Saya dibuat menjadi lesbian! Saya dibuat menjadi manusia yang menderita!
Lalu, sempurna. Siapa yang mengatakan bahwa Tuhan itu sempurna?—padahal tak pernah ada seorang pun yang pernah bertemu Tuhan dan kemudian kembali ke bumi untuk menceritakan kesempurnaan Tuhan. Tidak ada! Tuhan itu tidak sempurna sama sekali! Dia hanya menamai dirinya sebagai yang paling sempurna! Sombong sekali Dia!

from: +6285290577***
Kamu sungguh berdosa besar. Maaf, bila saya lancang, tapi lebih baik kamu bertobat daripada dosamu semakin besar.

to: +6285290577***
Saya tidak mau meminta maaf kepada Tuhan karena seharusnya Dia-lah yang bersimpuh di kaki saya, memohon ampun kepada saya karena yang bersalah adalah Dia!

from: +6285290577***
Terserah apa katamu! Kamu hanya memakai otak tanpa menggunakan nuranimu! Kapan kamu mengerti Tuhan bila nuranimu tak pernah kamu pakai? Tuhan tak bisa dilihat dengan otak, tapi Dia bisa dirasakan dengan nurani. Kebaikannya sungguh besar sehinggan hati dapat menilainya!

to: +6285290577***
Saya dapat mencaci-Nya karena saya bisa merasakan kebusukan-Nya ketika saya mencoba merasakan-Nya lewat nurani!

from: +6285290577***
Berarti kamu salah. Dekatkan diri lagi kepada-Nya sebelum kamu bacot dan mencaci-Nya! Kamu tak punya hak untuk mencaci Penciptamu, dasar tidak tahu diri! Masih banyak orang yang lebih menderita darimu! Anak-anak jalanan, warga kolong jembatan, korban lumpur Lapindo, korban gempa, tsunami, dan masih banyak! Mereka dapat bertahan dengan segala keterbatasan! Tapi, kamu? Hanya diciptakan sebagai lesbian saja sudah teriak-teriak mencaci Tuhan! Lem mulut kotormu itu!

to: +6285290577***
Mereka memang menderita, saya akui! Tapi, mereka dikasihani, tidak dicaci. Sedangkan saya? Saya dicaci! Semua mata memandang sinis ke arah saya!

from: +6285290577***
Saya mau tidur!

to: +6285290577***
Beginilah orang yang sudah ketularan kebiadaban Tuhan! Sembunyi bila kalah!

from: +6285290577***
Kamu akan jatuh ke lubang neraka terdalam dan terpanas. Bertobatlah karena pintu tobat tetap terbuka! Carilah agama lain bila dirasakan agamamu yang kali ini kurang bisa membantumu. Setiap orang punya kepercayaan masing-masing, kan? Mungkin agama Islam, Buddha, atau Hindu lebih masuk akal untukmu. Aku harap, kamu dapat kembali ke jalan yang benar lewat salah satu aliran keagamaan yang tidak sesat. Pintu Surga masih terbuka lebar dan saya kasihan terhadapmu meski sedikit marah karena kamu mencaci Tuhan. Sekian, semalat malam. Semoga hubunganmu dengan Tuhan dapat beres. Jangan lagi kau balas SMS ini. Renungkan: ini semua bukan salah-Nya.

catatan:
SMS-SMS di atas sudah disunting kata-katanya tanpa mengurangi arti sesungguhnya agar pembaca dapat lebih mudah menangkap maksud dari SMS-SMS di atas.


        category: curhat wanita lesbi     komentar: 53 komentar
rate:                        5 (1)                        4 (23)                      3 (7)                        2 (11)                      1 (6)



curhat: Hari Pertama                                3 Jan 2009
diposkan oleh: Wanita Lesbi

Semalam, menjelang tengah malam, sebuah SMS masuk ke ponsel saya, mengusik tidur saya yang memang sudah tidak nyenyak dengan mimpi buruk yang kata sebagian orang indah: dikawini dengan pria oleh kedua orang tua.

SMS itu ternyata dikirim oleh orang satu ‘spesies’ dengan saya. Ya, dia seorang lesbian. Tapi, dia sangat berbeda dengan saya. Dia seorang lesbian yang... baik(?)

from: +628193570***
Kamu wanita lesbi itu?

to: +628193570***
Iya. Ini siapa, ya?
Dari mana tahu kalau saya seorang lesbian?

from: +628193570***
Loh, kan, kamu yang promosi di blog.

to: +628193570***
Oh, iya, ya! Haha, jadi malu!
Jadi, kamu mau menampung curahan hati saya yang segentong?

from: +628193570***
Ya, untuk itulah saya mengirim SMS ini.

to: +628193570***
Nama, umur, tempat tinggal, status?
PS: Dilarang menanyakan identitas saya! Ini peraturan (dan saya yakin kamu sudah mengetahuinya). Dan, dengan membalas SMS ini, berarti kamu bersedia identitas dan SMS-mu dicantumkan di blog, kalau berkesan untuk saya.

from: +628193570***
Elsa Kenyko, 32, Parung, menikah.
Ya, saya bersedia dan tolong sensor ekor nomor ponsel saya.

to: +628193570***
Oke.
Jadi, kamu bukan lesbian, dong! Kamu beruntung.

from: +628193570***
Apakah kamu pikir seorang lesbian tidak bisa dan tidak boleh menikah?

to: +628193570***
Kamu menikah dengan perempuan? Diperbolehkan secara hukum dan agama?

from: +628193570***
Kan, kata saya ‘seorang’, bukan ‘sesama’.
Saya menikah dengan pria dan sekarang sudah memiliki dua orang anak yang lucu dan cerdas.

to: +628193570***
Kok, kalian bisa menikah? Dijodohi?

from: +628193570***
Apakah cinta harus memiliki?

to: +628193570***
Itu tidak menjawab pertanyaan saya.

from: +628193570***
Saya menikah dengan pria yang tidak saya cintai demi menyenangkan hati orang tua saya, demi tidak menimbulkan aib. Saya meninggalkan wanita yang saya cintai sejak SMP dan saya menikahi pria itu, kemudian membuahkan sepasang anak kembar.

to: +628193570***
Kamu menyiksa dirimu sendiri! Kamu meninggalkan orang yang kamu cintai demi masyarakat!

from: +628193570***
Ini bukan demi masyarakat. Tapi demi muka saya dan demi keluarga saya yang mencintai saya. Demi orang tua saya yang begitu ingin menimang cucu kandung. Demi orang tua saya yang begitu mengharapkan saya, anak tunggal mereka, sebagai penerus generasi.

to: +628193570***
Ah, anak berbakti! Tak seperti saya yang kerjanya menyusahkan orang tua saja.

from: +628193570***
Usul saya kepada kamu: coba nikahi pria dan punya anak. Kelak, anak itulah yang akan mempertahankan hubungan kamu dan suamimu agar tetap langgeng.

to: +628193570***
Terima kasih, tapi saya tidak bisa.
Ngomong-ngomong, kamu belum tidur?

from: +628193570***
Belum.
Dari tadi saya pura-pura tidur agar suami saya berani keluar untuk menemui simpanannya dan saya bisa meng-SMS kamu.

to: +628193570***
Kamu diduakan?
Ciih, lelaki memang tidak tahu diri!

from: +628193570***
Bukan salahnya.
Saya selalu menolak melayaninya di atas ranjang, makanya dia selalu mencari kepuasan dengan wanita lain. Dan, saya pun menduakannya dengan meng-SMS-mu, bukan? Bagi saya, berhubungan dengan sesama lesbian adalah pacaran yang bisa menjatuhkan saya ke lubang nafsu lagi.

to: +628193570***
Ternyata hubunganmu dengan wanita hanya berlandaskan nafsu, bukan cinta!

from: +628193570***
Hubungan saya berlandaskan cinta, tapi iblis telah menghembuskan apa yang disebut nafsu sehingga saya tidak bisa lari dari semua itu.

to: +628193570***
Ternyata kamu sama saja! Lesbian sepertimulah yang membuat masyarakat termotivasi untuk membenci lesbian. Hubungan kalian berlandaskan nafsu, bukan cinta!

from: +628193570***
Kamu salah mengartikan!

from: +628193570***
Kenapa tidak membalas SMS saya?

from: +628193570***
Ya, sudah kalau tidak mau balas. Saya minta maaf.

from: +628193570***
Selamat tidur! Saya mengantuk....

to: +628193570***
Ya, sudah! Tidur saja pakai acara melapor! Tidur sana! Mengganggu tidur saya saja, dasar, Lesbian Bejat!

from: +628193570***
Terserah apa katamu.

to: +628193570***
JANGAN GANGGU SAYA LAGI KARENA SAYA MAU TIDUR DAN INI SUDAH LEWAT TENGAH MALAM! TAHUKAH ANDA APA YANG DISEBUT ETIKA, WAHAI, LESBIAN BEJAT?!

catatan:
SMS-SMS di atas sudah disunting kata-katanya tanpa mengurangi arti sesungguhnya agar pembaca dapat lebih mudah menangkap maksud dari SMS-SMS di atas.


        category: curhat wanita lesbi     komentar: 94 komentar
rate:                        5 (12)                      4 (34)                      3 (7)                        2 (27)                      1 (21)



promosi: +6285668786009                        1 Jan 2009
diposkan oleh: Wanita Lesbi

Akhirnya, saya menemukan manfaat dari pembuatan blog ini. Saya dapat mencurahkan isi hati saya kepada para pembaca di seluruh dunia mengenai penderitaan yang saya alami, mengenai kekejaman Tuhan yang telah menciptakan saya sebagai seorang lesbian sejak lahir, mengenai kemunafikan masyarakat yang mengucilkan saya, mengenai orang tua saya yang tidak bijaksana, mengenai hidup yang tidak pernah adil.

Tapi, untuk mencurahkan isi hati saya, saya butuh orang yang mau dicurahi isi hati. Maka dari itu, posting kali ini hanya berisi promosi nomor ponsel saya saja.

“Bagi yang berminat membaca curahan hati saya langsung dari layar ponsel Anda, silakan SMS ke nomor ini:

+6285668786009

Saya tunggu, lho, SMS dari Anda!”

SMS yang paling berkesan akan saya masukkan ke dalam blog saya ini, tentunya dengan nomor yang telah disensor agar orang itu tidak diganggu oleh orang asing yang iseng. Tapi, jika orang itu ingin nomornya dipampang tanpa sensor sama sekali dengan tujuan mendapatkan kenalan, silakan. Saya, toh, tidak keberatan karena saya sudah sempat mencurahkan isi hati saya.

catatan:
Karena ini ciptaan saya, maka yang dipakai adalah peraturan saya. Peraturannya hanya satu: hanya saya yang boleh bertanya identitas sedangkan Anda—yang ingin membaca curahan hati saya—tidak boleh menanyakan indentitas.


        category: curhat wanita lesbi     komentar: 26 komentar
rate:                        5 (0)                        4 (2)                        3 (2)                        2 (6)                        1 (14)



DIBACA, ATUH!                                     26 Des 2008
diposkan oleh: Wanita Lesbi

Ya, tidak salah lagi. Ini memang blog saya. Ah, maaf... saya lupa mengucapkan salam di awal, ya? Ya, sudah. Saya ucapkan selamat datang di blog saya saja, kalau kamu memang memaksa dan mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!".

Ummmm....
Ini blog saya....
Lalu, apa lagi?

Selamat datang di blog saya....
Jujur, saya tak begitu mengerti apa gunanya blog. Mungkin, supaya tidak dicap gaptek. Tapi, ya, sudahlah. Toh, sudah saya buat!

Selamat datang di blog saya....
Saya akan sangat senang bila kamu bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca semua curahan hati saya.

Selamat datang di blog saya....
Saya akan sangat senang bila kamu bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca semua curahan hati saya. Saya juga akan lebih senang jika kamu mau membubuhkan kenang-kenangan berupa komentar pada semua curahan hati saya. Apalagi jika komentar yang kamu berikan berisi solusi agar saya keluar dari masalah saya.... Wah, kalau sudah begitu, saya hanya bisa mendoakan, semoga kamu masuk Surga.

Ah, tidak! Sama sekali tidak! Kamu yang tidak membubuhkan kenang-kenangan berupa komentar pada semua curahan hati saya juga akan saya doakan untuk masuk ke Surga juga, kok!

Ya, tidak salah lagi. Ini memang blog saya. Ah, sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih sebelum kamu mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!".

Terakhir,
Selamat datang di blog saya....
Selamat mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!"....
Maaf dan terima kasih....


        category: curhat wanita lesbi     komentar: 2 komentar
rate:                        5 (0)                        4 (2)                        3 (0)                        2 (1)                        1 (0)

* * *

“Sebelum menjadi lebah seperti sekarang ini, aku pernah menjadi seekor burung gereja, kera, tikus got, bahkan allosaurus, dan masih banyak lagi yang kurasa tak perlu kusebutkan satu-persatu karena aku yakin Kau tak akan lupa akan hal itu. Benar, kan, ya Tuhan?
“Aku telah banyak bereinkarnasi menjadi berbagai macam mahkluk hidup di bumi ini. Namun, hanya sekali aku pernah bereinkarnasi menjadi makhluk yang paling tinggi dalam kasta makluk hidup: manusia. Ya, aku pernah menjadi manusia, tepat sebelum aku menjadi lebah seperti sekarang ini. Aku pun yakin Kau tak lupa akan hal itu.
“Kau tahu, aku menyesal karena dalam kehidupanku yang sebelumnya, aku tak mensyukuri hidup, tak menghayati hidup, dan yang terparah: menghujat-Mu hanya karena Kau menciptakanku sebagai seorang wanita lesbian. Aku juga sangat menyesal dan sampai sekarang pun aku masih terus bertanya: mengapa aku harus mengakhiri hidupku sendiri hanya karena kepengecutanku pada hidup? Masih ada cinta yang bisa menjadi harapanku, kan? Mengapa saat itu aku bertindak begitu bodoh? Mengapa saat itu aku menelan pil-pil itu? Kalau aku tak menelan pil-pil itu, tentunya aku masih hidup sebagai seorang wanita lesbian sampai sekarang dan kalau aku masih hidup, tentunya masih banyak waktu tersisa yang bisa kugunakan untuk mencintai dan mendekatkan diri kepada-Mu. Kalau aku masih hidup, aku bisa memperjuangkan cita-citaku menjadi Kartini untuk para homoseks. Aku begitu bodoh! Bodoh, bodoh, bodoh!
“Ya, Tuhan.... Semoga kalimatku ini tak akan klise di telinga-Mu. Jika waktu bisa berputar kembali, aku ingin kembali hidup menjadi manusia, menjadi wanita lesbian itu. Aku ingin bertobat, bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada-Mu. Aku pun ingin mencintai seorang wanita yang telah merubah pandangan hidupku: Ve. Ah, aku yakin, Tuhan, mencintai orang lain tak berdosa, kan, meski pun orang yang kucintai adalah yang berjenis kelamin sama denganku? Bukankah Kau yang menciptakanku sebagai seorang lesbian, ya Tuhanku yang kucintai?
“Ve telah merubah segalanya yang buruk padaku menjadi lebih baik. Aku masih ingat bagaimana SMS-nya yang terakhir untukku begitu menusuk. Ve: aku belum pernah melihat wajahnya, tapi aku sudah sangat mencintainya. Ve begitu bisa mengertiku. Bahan renungan yang telah dia berikan benar-benar membuatku berubah hanya dalam beberapa jam. Kata-katanya yang cerdas tapi tak meninggalkan nurani telah membuatku cinta, hingga akhirnya rela menginjakkan kaki ke gereja, sekali lagi, untuk memohon pengampunan.
“Tapi, aku yakin Kau tahu, Tuhan, bahwa saat itu aku bertobat bukan karena cintaku pada-Mu, tapi karena cintaku pada Ve. Apakah itu sebuah kesalahan karena telah menomor-duakan-Mu? Kurasa iya, ya Tuhan. Oh, aku punya alasan untuk mengatakan hal itu salah. Pertama: Kau adalah segalanya. Kedua: aku telah diciptakan kembali sebagai seekor lebah dan lebah hampir menduduki kasta terendah, bukan? Berarti, apa yang telah kuperbuat benar-benar hina. Tapi, jangan Kau hukum Ve seperti Kau menghukumku, ya Tuhan! Ve begitu baik dan karena dialah aku termotivasi untuk meminta ampun kepada-Mu. Pun, bukan mau Ve jika aku menomor-duakan-Mu.
      “Ini semua memang bukan salah-Mu. Harusnya aku sadar sejak dulu. Tapi, aku sudah terlambat menyadari hal itu. Aku keburu menghujat-Mu dengan kata-kata kasar. Aku mempromosikan dan mengorek-ngorek kesalahan-Mu yang sebenarnya tidak ada. Aku tahu: aku telah berdosa.
      “Aku telah terbang, berkelana untuk mencari-Mu dan memohon ampun kepada-Mu. Aku terbang setinggi yang kubisa, tapi Kau tetap tak kelihatan.
      “Pernah sekali aku berpendapat bahwa Kau sebenarnya hanyalah fantasi manusia. Namun, segera kubuang jauh-jauh pemikiran sesat itu ketika tiba-tiba aku teringat akan SMS Ve bahwa Kau tidak bisa dilihat dengan otak, tapi bisa dirasakah dengan hati. Lihatlah bagaimana kebijaksanaan Ve ini dapat merubah pandangan miringku pada-Mu.
      “Sebenarnya, sesekali akau merasa kehilangan sesuatu yang benama asa. Sebabnya adalah hatiku juga tak bisa merasakan kehadiran-Mu. Aku tak bisa merasakan kehadiran-Mu di sisiku seperti kata Pak Capung yang begitu baik itu. Tapi, aku tetap tak mau menyerah. Kubuat-buat sendiri asa itu lalu aku kembali terbang untuk mencari-Mu. Aku tahu itu terdengar aneh, tapi aku benar-benar ingin mencari-Mu. Aku benar-benar ingin bersimpuh di kaki-Mu tapi aku tak bisa melakukannya. Tapi, aku bisa bersimpuh di kaki Putra-Mu, kan?
      “Aku telah bersimpuh di kaki Putra-Mu ini.
      “Aku datang ke sini bukan hanya untuk memandangi-Nya. Aku di sini ingin sekali lagi memohon ampun atas segala dosa yang telah kuperbuat.
      “Tapi, aku yakin, Tuhan, Kau pasti akan memaafkanku karena Kau Maha Baik dan Maha Pemaaf. Amin....
      “Sudah. Begitu saja. Tolonglah sampaikan doaku ini kepada-Nya, ya Yesus Kristus. Terima kasih karena telah setia mendengarkan doaku tanpa bosan dan terima kasih pula karena Kau mau menyampaikan doa ini kepada-Nya.”

* * *

Tadi, lebah itu tiba-tiba masuk ke dalam kelas XIA ini, tak lama setelah Pak Is masuk untuk mengajarkan pelajaran Bahasa Inggris. Sudah barang tentu Trio Sundal Mentel—Erna, Vivian, dan Katrina—berteriak histeris. Memang berlebihan! Kenapa mereka harus berteriak melengking hanya karena lebah yang tidak mengganggu? Wong, lebah itu cuma terbang ke sana-ke mari membentuk angka delapan di udara saja, kok! Lebah itu sama sekali tak mengganggu. Tapi, kenapa Trio Sundal Mentel itu harus melengking seperti Kuntilanak ditampar toket Wewe Gombel yang sebesar pepaya matang pohon? Huh, norak!
      Lebah itu juga aneh. Rasanya lebah itu bukan lebah biasa. Haha, jangan anggap aku konyol! Tapi, lebah itu memang aneh. Kenapa lebah itu begitu senang hinggap di salib yang tergantung di dinding itu? Kenapa lebah itu tak memilih foto SBY dan JK saja? (Sebenarnya, foto Jusuf Kalla di kelasku belum diganti dengan foto Budiono. Bendahara tak mau membeli, meski satu kelas sudah mewanti-wanti.)
      Aku tak tahu apa yang ada di pikiran lebah itu. Apakah lebah itu jelmaan sesuatu? Aku tak tahu itu. Yang kutahu: Trio Sundal Mentel kini sudah tak berteriak lagi. Mereka telah lega. Lebah itu telah dipukul Hagana Ginting dengan sapu (karena diperintah Pak Is) dan terkapar di lantai. Mungkin, mati. Tapi, semoga hanya pingsan saja.
      Kasihan lebah itu....

* * *

Ah, Tuhan.... Begitu tepat waktunya Kau mengambil nyawaku. Terima kasih karena Kau telah mengirimkan manusia itu untuk memukulku dengan sapu. Tak apalah aku mati tak lama lagi. Aku lega karena sudah sempat meminta maaf pada-Mu. Aku—ah, semuanya semakin tak jelas. Ya Tuhan, maafkanlah aku! Ampuni dosa-dosaku. Jangan pula Kau hukum Ve seperti Kau menghukumku. Aku cinta dia. Berilah dia pasangan yang baik, ya Tuhan. Terima kasih, Tuhan atas kesempatan yang Kau berikan. Terima kasih.
      Agh, semuanya semakin tak jelas.... Ah....
      ....
      ....
      ....
      ....
      ....
      ....
      ....
      ....
      ....
      ....

* * *

Kasihan kamu, Lebah!
      Aku memungut bangkai lebah yang tegeletak di lantai itu sebelum sempat disapu oleh Dessy yang sedang melaksanakan tugas piket siang itu. Kukantongi bangkai lebah itu, tak peduli dengan pandangan Dessy yang sinis kepadaku karena melihat tindakanku yang, kuakui, aneh.
      Sesampaiku di rumah, lebah itu akan kukuburkan dengan layak di halaman belakang rumahku.

* * *

Masih dengan seragam SMA putih-kelabu yang menempel pada tubuh gempalnya, Ve mengubur bangkai lebah yang tadi ia dapat di sekolah. Tak lupa pula ia beri nisan:

Lebah 007
lahir: _________________
wafat: Jepara, 16 Maret 2010

      Sesungguhnya, bukan hanya Lebah 007 saja yang pernah dikubur oleh Ve di halaman belakang rumahnya. Lebah 007 sendiri adalah lebah ketujuh yang dikubur oleh Ve. Belum lagi Kumbang Gajah 001, Lalat 001, Lalat 002, Lalat 003, Nyamuk 001, Nyamuk 002, Nyamuk 003, Nyamuk 004, Nyamuk 005, Nyamuk 006, Nyamuk 007, Nyamuk 008, Nyamuk 009, dan masih banyak lagi.
      Entah sakit jiwa apa yang diidap oleh Ve. Ia begitu menyayangi serangga yang bagi sebagian orang terasa mangganggu.
      Pernah sekali ia menangis ketika tanpa sengaja membunuh Nyamuk 008.
      Tak jarang pula ia membentak Ibunya yang sedang menyemprot barisan semut dengan obat nyamuk.
      “Jangan bunuh mereka. Mereka hanya mencari makan, sama seperti ketika manusia memburu kijang di hutan! Kalau mereka memang mengganggu, salahkan Tuhan yang telah mengkodratkan mereka sebagai pengganggu!”
      Atau pernah pula ketika Ibunya bertanya, “Mengapa kamu suka sekali mengubur mereka?”, Ve malah balik bertanya, “Bagaimana bila suatu saat seranggalah yang menduduki kasta tertinggi dan manusia menduduki kasta terendah? Bagaimana perasaan Ibu jika saya dibunuh di kerajaan semut siafu dan mayatku ditinggalkan begitu saja?”





Tanjungpinang, Februari-Maret 2010



Related Posts with Thumbnails

Asa + Blog = Standing Ovation!