rss
twitter
    Klik gambar burung ini dan follow Twitter saya! :))

Copy banner blog saya, ya.... :))

30 Mei 2010

puisi: Tuhan



oleh: Bintang Pradipta

Aku melayang,
Dia menggandengku
Aku terjatuh,
Dia menggendongku

6
6
6
. . .





Tanjungpinang, 25 Desember 2009

29 Mei 2010

puisi: Abstrak



oleh: Bintang Pradipta

Terjun, jatuh, darat, luka
Lompat, cebur, renang, ujung

Satu, dua, tiga, lari
Senin, Rabu, Jumat, Minggu

Taruh hati dalam jantung
Buang jantung dalam paru
Bakar paru dalam jantung
Kubur jantung dalam hati

Usus anus lambung tinja
Air penis ginjal kencing
Sperma ovum lalu bunting
Kafan lenyap kubur timbun

Kaus kolor BH bakar
Tuas katrol senyum balik

Cinta Nita Gita Rita
Rita Cinta Nita Gita
Gita Rita Cinta Nita
Nita Gita Rita Cinta

“Tak perlu dimengerti, hanya perlu dinikmati
Karena cinta itu abstrak”

“Renungkan saja!”





Tanjungpinang, 22 Desember 2009

28 Mei 2010

Tentang Blog B



Ya, tidak salah lagi. Ini memang blog saya. Ah, maaf... saya lupa mengucapkan salam di awal, ya? Ya, sudah. Saya ucapkan selamat datang di blog saya saja, kalau kamu memang memaksa dan mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!".

Ummmm....
Ini blog saya....
Lalu, apa lagi?

Selamat datang di blog saya....
Jujur, saya tak begitu mengerti apa gunanya blog. Mungkin, supaya tidak dicap gaptek. Tapi, ya, sudahlah. Toh, sudah saya buat!

Selamat datang di blog saya....
Saya akan sangat senang bila kamu bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai).

Selamat datang di blog saya....
Saya akan sangat senang bila kamu bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai).
Saya juga akan lebih senang jika kamu mau membubuhkan kenang-kenangan berupa komentar pada puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai).
Apalagi jika komentar yang kamu berikan berisi kritik yang membangun.... Wah, kalau sudah begitu, saya hanya bisa mendoakan, semoga kamu masuk Surga.

Ah, tidak! Sama sekali tidak! Kamu yang tidak membubuhkan kenang-kenangan berupa komentar pada puisi-puisi saya (yang kata Mas Arther Phanter Olii) nakal dan cerpen-cerpen saya, serta sinopsis novel saya (yang tidak pernah selesai) juga akan saya doakan untuk masuk ke Surga juga, kok!

Ya, tidak salah lagi. Ini memang blog saya. Ah, sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih sebelum kamu mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!".

Terakhir,
Selamat datang di blog saya....
Selamat mencemooh saya dengan kalimat "Tidak punya adat!"....
Maaf dan terima kasih....

2 Mei 2010

cerpen: Akuan Dia(an)


Semua hanya berkedokkan agama, norma, moral, hukum. Tapi, pernahkah mereka mendengar jeritanku sebagai seorang korban pemerkosaan?

Semua hanya berkedokkan agama, norma, moral, hukum. Tapi, pernahkah mereka mendengar jeritan Maida sebagai seorang korban pemerkosaan?

      Bukan mauku. Bukan aku yang genit. Bukan aku yang memulai. Bukan! Bukan aku yang menggoda. Aku sama sekali tak tahu apa-apa sampai pria biadab itu menimpa tubuhku dan merampas keperawananku dengan penisnya yang belum disunat, penis terkutuknya yang bau amis itu!

      Bukan mau Maida. Bukan Maida yang genit. Bukan Maida yang memulai. Bukan! Bukan Maida yang menggoda. Dia sama sekali tak tahu apa-apa sampai pria biadab itu menimpa tubuh Maida dan merampas keperawanan Maida dengan penisnya yang belum disunat, penis terkutuknya yang bau amis. Salahkah Maida berwajah cantik, berkulit mulus, dan berbadan indah? Kenapa semua orang menghujatnya dan bukan menghujat si supir angkot tak tahu diri itu? Apakah hanya karena masalah gender? Apakah hanya karena Maida perempuan dan si supir angkot biadab itu adalah laki-laki?

      Aku sama sekali tidak salah.

      Maida sama sekali tidak salah.

      Tapi, terlanjur sudah aku diberi label ini-itu oleh masyarakat yang sampah! Terlanjur sudah aku dicampakkan, dikucilkan! Aku rusak, kini—dan, mereka masih saja menghujatku.

      Tapi, terlanjur sudah Maida diberi label ini-itu oleh masyarakat yang sampah! Terlanjur sudah Maida dicampakkan, dikucilkan! Maida rusak, kini—dan, mereka masih saja menghujat Maida yang sudah bersetubuh dengan apati.

      Ini bukan sinetron! Ini hidupku, ini takdirku.

      Ini bukan sinetron! Ini hidup Maida, ini takdirnya.

      “Rasanya cukup sekian dulu. Aku sudah lemas semalaman bekerja. Lebih baik tidur saja dulu, kumpulkan tenaga dan pikiran untuk besok,” kata wanita itu pada dirinya sendiri sambil mengucek matanya yang sudah tak bisa melek lagi. Memang, wanita itu suka sekali berbicara sendiri. Terkadang memang konyol. Tapi, dengan berbicara sendiri, wanita itu bisa menghilangkan kesepiannya, meski tak banyak membantu.

* * *

Semua berawal dari siang yang terik itu. Matahari yang sudah berada di puncaknya membakar kulitku, mengakibatkan pori-poriku memuntahkan keringat yang berbau kurang sedap.

Semua berawal dari siang yang terik itu. Matahari yang sudah berada di puncaknya membakar kulit Maida, mengakibatkan pori-pori Maida yang tak terhitung jumlahnya (hanya orang kurang kerjaan yang mau menghitung jumlah pori-pori) memuntahkan keringat yang berbau kurang sedap setelah terkontaminasi oleh bakteri yang berdansa bebas di udara yang tidak steril.

      Siang itu, aku harus pulang dengan angkot, untuk pertama kalinya dalam hidupku karena biasanya aku dijemput oleh ayah dengan motor bebeknya yang mesinnya sudah sebising kentut cempreng. Saat mengantarkanku ke sekolah, ayah memang sudah berpesan, “Nanti kau pulang sendiri, lah, pakai angkot!” Logat Batak-nya yang lantang sungguh kental, mengornameni kalimatnya yang singkat, padat, dan jelas.

      Siang itu, Maida harus pulang dengan angkot, untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya karena biasanya dia dijemput oleh Ayah dengan motor bebek yang mesinnya sudah sebising kentut cempreng—PRREEEEEETTT!!!—tapi tetap berfungsi dan dapat beroperasi dengan baik. Saat mengantarkan Maida ke sekolah, Ayah memang sudah berpesan, “Nanti kau pulang sendiri, lah, pakai angkot!” Logat Batak-nya yang lantang sungguh kental, mengornameni kalimatnya yang singkat, padat, dan jelas—jelas maksudnya, tapi tidak dengan alasannya. Mabuk-mabukan lagikah seperti biasanya?

      Aku pusing saat itu. Tak pernah aku pulang sendiri, pakai angkot pula! Sebenarnya, timbul keinginan untuk jalan kaki. Tapi, jarak rumah dengan sekolahku cukup jauh. Ingin naik ojek, uang tidak cukup. Menumpang teman, ah, segan juga. Akhirnya, aku benar-benar naik angkot.

      Maida pusing saat itu. Tak pernah dia pulang sendiri, pakai angkot pula! Sebenarnya, timbul keinginan untuk jalan kaki saja. Tapi, jarak rumah dengan sekolahnya cukup jauh. Ingin naik ojek, BAH!—mana cukup uangnya! Menumpang teman, ah, segan juga. Akhirnya, Maida benar-benar naik angkot.

      Angkot yang kecil dan jorok itu terasa pengap. Semua penumpang yang ternyata adalah siswa-siswi SMA mengipasi diri mereka dengan kipas dadakan: buku tulis lecek. Aku pun ikut mengipasi diriku sendiri. Tak mungkin aku tahan duduk lama di angkot pengap itu tanpa kesejukan sama sekali.

      Angkot yang kecil dan jorok itu terasa pengap. Hampir semua penumpang yang merupakan siswa-siswi SMA mengipasi diri mereka dengan kipas dadakan: buku tulis yang lecek. Maida yang murid SMP sendiri pun ikut-ikutan. Tak mungkin dia tahan duduk lama di angkot pengap itu tanpa kesejukan sama sekali.

      Lalu, satu-persatu penumpang meninggalkan angkot dan tinggallah aku seorang diri bersama si supir angkot yang sebentar-sebentar melirik ke arahku lewat kaca spionnya yang digantungi tasbih hijau yang indah. Sudah barang tentu aku risih dipandangi begitu. Aku hanya duduk diam di pojok sampai aku menyadari bahwa jalan yang dilewati angkot itu adalah jalan yang asing. Tak pernah aku melewati jalan itu. Jalannya masih diselimuti tanah merah yang becek dan lengket, juga licin. Kanan-kiri jalan tak didapati perumahan, melainkan pepohonan kerontang dan semak-semak gosong.

      Lalu, satu-persatu penumpang meninggalkan angkot dan tinggallah Maida seorang diri, hanya bertemankan seorang supir angkot yang sebentar-sebentar melirik ke arah Maida dengan genit lewat kaca spion belakang yang digantungi tasbih hijau muda yang indah. Sudah barang tentu Maida risih bila dipandang dengan cara begitu. Dia hanya duduk diam di pojok sampai dia menyadari bahwa jalan yang dilewati angkot itu adalah jalan yang asing baginya. Tak pernah Maida melewati jalan itu. Jalannya masih diselimuti tanah merah yang becek dan lengket, juga licin. Kanan-kiri jalan tak didapati perumahan, melainkan pepohonan kerontang dan semak-semak gosong.

      “Bang, Hang Tuah bukan lewat jalan ini,” aku mencoba tenang.

      “Bang, Hang Tuan bukan lewat jalan ini,” Maida mencoba untuk tetap tenang meski perasaannya sudah tak enak.

      “Kita tidak akan pergi ke rumahmu, Adik Manis,” si supir angkot tersenyum mesum. “Aku mau melepas nafsu berahi. Istriku bertengkar denganku dan menolak melayaniku....”

      “Kita tidak akan pergi ke rumahmu, Adik Manis,” si supir angkot tersenyum mesum. “Aku mau melepas nafsu berahi. Istriku bertengkar denganku dan menolak melayaniku....”

      Aku tak tahu lagi apa yang dia bicarakan. Telingaku berdengung memekakkan. Tungkai kakiku gemetar hebat. Telapak tanganku terasa dingin meski berkeringat. Wajahku (mungkin) pucat pasi. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Melompat lewat pintu? KONYOL SEKALI! Aku hanya akan mati dengan leher patah dan kepala mengeluarkan saus tomat. Berteriak? Hah, siapa yang akan mendengar teriakanku? Jalan itu terlalu sepi. Tak ada yang berlalu-lalang kecuali burung-burung yang tak aku kenal spesiesnya.

      Maida tak tahu lagi apa yang supir angkot itu bicarakan. Telinganya berdengung memekakkan. Kedua tungkai kakinya gemetar hebat. Telapak tangannya terasa dingin meski basah karena keringat. Wajahnya pucat pasi. Maida tak tahu apa yang harus dia perbuat. Melompat lewat pintu? KONYOL SEKALI! Dia hanya akan mati dengan leher patah dan kepala mengeluarkan saus tomat. Berteriak? Hah, siapa yang akan mendengar teriakkannya? Wong, jalannya sepi begini. Tak ada yang berlalu-lalang kecuali burung-burung yang tak Maida kenal genus maupun spesiesnya.

      “Bang, tolong, Bang. Jangan apa-apain saya,” kataku memohon dengan mata yang perih karena ketakutan.

      “Bang, tolong, Bang. Jangan apa-apain saya,” kata Maida memohon dengan mata yang terasa perih karena ketakutan, ingin menangis.

      Melihat ketakutanku, supir angkot itu tampaknya malah semakin bernafsu. Dia gila, pikirku. Dia senang bila aku ketakutan. Maka, aku hanya diam sambil memikirkan cara untuk kabur.

      Melihat Maida yang ketakutan, supir angkot itu tampaknya semakin bernafsu. Dia gila, pikir Maida. Dia senang bila aku ketakutan. Maka, Maida hanya diam sambil memikirkan cara untuk kabur.

      Supir angkot menginjak pedal rem. Angkot berhenti di tengah jalan. Tanpa babibu, aku langsung melompat keluar dari angkot dan berlari sekencang yang kubisa. Tapi, staminaku rendah. Supir angkot yang ternyata mengejarku itu berhasil menarik tangan kiriku dan menyeretku. Aku hanya dapat meronta sebisaku meski aku tahu aku tak akan bisa bebas lagi.

      Supir angkot menginjak pedal rem. Angkot berhenti di tengah jalan. Tanpa babibu, Maida langsung melompat keluar dari angkot dan berlari sekencang yang dia bisa. Tapi, staminanya rendah. Supir angkot yang ternyata mengejar Maida berhasil menarik tangan Maida dan menyeretnya. Maida hanya dapat meronta sebisanya meski dia tahu dia tak akan bisa kabur lagi.

      Dia mengikat tangan dan kakiku dengan tali, tak begitu kencang—sehingga darah dalam tubuhku masih dapat beredar—tapi, susah melepaskan simpulnya. Mulutku pun direkatkan dengan isolasi besar. Entah dari mana semua alat itu dia dapatkan. Mungkinkah sopir angkot itu rutin melakukan hal itu pada penumpang terakhirnya yang wanita? aku bergidik saat itu. Mungkinkah dia seorang psikopat? Atau, seorang nekrofilia yang akan memerkosaku setelah membunuhku?

      Si supir angkot mengikat tangan dan kaki Maida dengan tali, tak begitu kencang—sehingga darah di dalam tubuh Maida masih dapat beredar—tapi, susah untuk melepaskan simpulnya. Mulut Maida direkatkan dengan isolasi besar. Entah dari mana semua alat itu didapatkan si sopir angkot. Mungkinkah dia rutin melakukan hal ini pada penumpang terakhirnya yang wanita? Maida bergidik. Mungkinkah dia seorang psikopat? Atau, seorang nekrofilia yang akan memerkosaku setelah membunuhku?

      Terjawab sudah semua pertanyaan di benakku ketika dia menggendong tubuhku dan meletakkanku di balik semak-semak agar tersembunyi dari pandangan. Lalu, dia mulai menelanjangiku. Dia meremas buah dadaku yang belum mekar sempurna. Dia memasukkan kepalanya yang berkeringat ke dalam rokku, lalu membuka celana dalamku dan mengintip kemaluanku sambil cekikikan. Sakit jiwa! pikirku saat itu. Aku merinding, takut, dan bajuku makin basah dengan keringat dingin yang mengalir.

      Terjawab sudah semua pertanyaan di benak Maida ketika si supir angkot menggendong tubuh Maida yang lemas dan meletakkannya di balik semak-semak agar tersembunyu dari pandangan. Lalu, dia mulai menelanjangi Maida, meremas buah dadanya yang belum mekar sempurna. Kemudian, memasukkan kepalanya ke dalam rok Maida dan membuka celana dalamnya, mengintip kemaluan remaja berusia 14 tahun itu sambil cekikikan. Sakit jiwa! pikir Maida yang merinding ketakuran dengan pakaian yang basah karena keringat dingin yang mengalir sederas Air Terjun Victoria.

      Supir angkot itu lalu abrit-abritan membuka pakaiannya dan dapat kulihat penisnya yang belum disunat itu berdiri mengerikan. Lalu, perlahan dia memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluanku. Dia merebut keperawananku. Sakit sekali!

      Supir angkot itu lalu abrit-abritan membuka pakaiannya sendiri, memamerkan penisnya yang belum disunat dan berdiri dengan cara yang mengerikan. Lalu, perlahan dia memasukkan penisnya ke dalam vagina Maida. Dia merebut keperawanan Maida.

      Dia mengguncang-guncangkan tubuhnya, naik-turun dengan tempo yang tak tentu dan dengan ritme desahan yang menjijikkan. Tak lama kemudian, aku pingsan. Oh, aku tak tahu apakah itu pingsan namanya. Tapi, yang kutahu gelap bersemayam di balik kelopak mataku saat itu. Rasanya seperti tidur, tidur tanpa mimpi. Kata orang, itu namanya pingsan. Tapi, bagaimanakah menurut KBBI?

      Si supir angkot mengguncang-guncangkan tubuhnya, naik-turun dengan tempo yang tak tentu dan ritme desahan stacatto yang menjijikkan bagi Maida. Tapi, tak lama kemudian, Maida pingsan. Hanya gelap yang bersemayam di balik kelopak matanya saat itu, selama beberapa waktu lamanya.

      Aku bangun keesokan harinya, subuh. Adzan di kejauhan berkumandang. Tetap lantang dalam kesunyian, merajai segala bebunyian, mengalahkan koakan gagak yang menyakitkan telinga. Sejuk rasanya hati mendengar adzan yang suci. Tapi, tiba-tiba aku tersadar, aku bukan di ranjangku, melainkan di antara semak yang menggatalkan tubuhku. Arg, badanku sakit!

      Maida bangun keesokan harinya, subuh. Adzan di kejauhan berkumandang. Tetap lantang dalam kesunyian pagi yang buta. merajai segala bebunyian, mengalahkan koakan gagak yang menyakitkan telinga, kalau di tempat itu ada gagak. Sejuk rasanya hati Maida mendengar adzan yang suci mengguyur perasaannya. Tapi, tiba-tiba dia tersadar, dia bukan terbaring di atas ranjangnya, melainkan di antasa semak yang menggatalkan tubuhnya. Badannya sakit, tapi lebih sakit hatinya. yang serasa diiris sembilu ketika didapatinya jalur aliran darah yang mengering di pahanya. Dia tak perawan lagi, tak suci lagi.

      Pintu diketuk dari luar.
      Pas sekali waktunya tiba! Jangan bilang dia lupa bawa KTP lagi! Alasan yang tak bermutu!

* * *

Ayah dan Ibu tahu bahwa aku sudah tak perawan. Tapi, mereka tak mau menerima alasan dariku. Mereka tetap berkeras bahwa aku yang memerkosa, bukan diperkosa. Mereka bilang, aku gatal. Mereka bilang, aku yang memulai. Mereka bilang, aku pamer tetek. Dan, mereka bilang, mereka tak akan lapor polisi karena pihak yang bersalah adalah aku sendiri. “Tak ada penjahat yang melaporkan diri sendiri!”

Ayah dan Ibu tahu bahwa Maida sudah tak perawan. Tapi, mereka tak mau menerima alasan Maida. Mereka tetap berkeras bahwa Maidalah yang memerkosa, bukan diperkosa. Mereka bilang, Maida gatal. Mereka bilang, Maida yang memulai. Mereka bilang, Maida yang pamer tetek. Mereka juga bilang, Maida perempuan sundal. Dan, mereka bilang, mereka tak akan lapor polisi karena yang bersalah adalah Maida sendiri. “Tak ada penjahat yang melaporkan diri sendiri!”

      Awalnya tak ada yang tahu kalau aku sudah tak perawan lagi. Tapi, ketika suatu hari aku menolak untuk menceboki Arif—adikku yang saat itu berusia 10 tahun—dia malah menceritakan kepada tetangga yang bermulut ember. Habislah, orang sekota tahu kalau aku sudah tak perawan lagi, kalau aku yang menggoda supir angkot, dan terakhir yang kudengar, aku menggoda supir angkot dengan bayaran Rp10.000 saja. Sungguh gosip murahan!

      Awalnya tak ada yang tahu kalau Maida sudah tak perawan. Tapi, ketika suatu hari dia menolak untuk menceboki Arif—adiknya yang saat itu berusia 10 tahun—Arif malah menceritakan kepada tetangga yang bermulut ember kalau Maida menggoda supir angkot. Habislah, orang sekota tahu kalau Maida sudah tak perawan, kalau Maida menggoda supir angkot, dan yang terakhir Maida dengar, Maida menggoda supir angkot dengan bayaran Rp10.000 saja. Sungguh gosip murahan!

      Semua tak berhenti di situ saja. Tak hanya cibiran dari tetangga yang sok suci saja yang kudapat tiap pagi. Tiba di sekolah, segeralah aku dipanggil menghadap kepala sekolah dan tahulah aku bahwa aku akan didepak dari sekolah, minimal diskors 1 bulan.

      Semua tak berhenti di situ saja. Tak hanya cibiran dari tetangga yang sok suci saja yang Maida dapat tiap pagi. Tiba di sekolah, segeralah Maida dipanggil menghadap kepala sekolah dan tahulah dia bahwa dia akan didepak dari sekolah, atau minimal diskors 1 bulan.

      Ternyata benar dugaanku. Aku memang dikeluarkan dari sekolah karena telah mencemarkan nama baik sekolah dengan tindakanku yang tidak terpuji. Aku diberikan sebuah surat dalam amplop yang harus kuberikan kepada orang tua sepulang sekolah. Halah, paling-paling juga isinya hanya tetek-bengek!

      Ternyata benar dugaan Maida. Dia memang dikeluarkan dari sekolah karena telah mencemarkan nama baik sekolah dengan tindakannya yang (katanya) tidak terpuji. Dia dititipi secarik surat dalam amplop yang harus dia berikan kepada orang tuanyanya sepulang sekolah.

      Maka, pulang sekolah, aku memberikan surat itu pada Ayah. Setelah Ayah—yang telah menganggur—membaca isi surat itu, segera dia menampar pipiku dengan kekuatan beruang dan menendang perutku dengan tenaga kuda.

      Maka, sepulang sekolah, Maida memberikan surat itu pada Ayahnya. Setelah Ayahnya—yang telah di-PHK karena suka mabuk-mabukan hingga pernah memukuli seorang karyawan sampai patah kaki—membaca isi surat itu, segera dia menampar pipi Maida dengan kekuatan beruang dan menendang perut Maida dengan tenaga kuda.

      Perutku terasa sakit. Lalu, darah pun menetes keluar dari kemaluanku. Aku keguguran. Tapi, sejak kapan aku punya bayi dalam kandungan? Aku tak pernah mual sehingga aku tak pernah curiga dan cek ke dokter atau sekedar tes kencing dengan testpack murahan.

      Perut Maida terasa sakit. Lalu, darah pun menetes keluar dari kemaluannya. Dia keguguran. Tapi, sejak kapan dia punya bayi dalam kandungan? Dia tak pernah mual sehingga tak pernah curiga dan cek ke dokter atau sekedar tes kencing dengan testpack murahan.

      “Bagus! Rupanya kau hamil! Untung aku sempat menendang perutmu sebelum kau buncit karena bunting!”

      “Bagus! Rupanya kau hamil! Untung aku sempat menendang perutmu sebelum kau buncit karena bunting!”

      Ayah biadab! Sempat-sempatnya dia berkata demikian. Alkohol sudah menerbalikkan otaknya.

      Ayah biadab! Sempat-sempatnya dia berkata demikian. Alkohol sudah merusak otaknya sebelum perlahan-lahan mengeraskan hatinya.

      Ibu yang saat itu di masih bekerja di pabrik tekstil tak bisa ikut-ikutan Ayah, membantu Ayah menghajarku. Untunglah.

      Ibu yang saat itu masih bekerja di pabrik tekstil tak bisa ikut-ikutan Ayah, membantu Ayah menghajar Maida.

      “Sekarang kau keluar dari rumah ini! Bawa barang-barang kotormu dan pergi! PERGI dari rumah ini! Dan, ingat, jangan pernah pamerkan lagi margamu. Marga keluarga ini suci, tak untuk orang sekotor kau! Sundal!” Ayah menegak lagi alkoholnya. Mungkin, botol yang kesepuluh.

      “Sekarang kau keluar dari rumah ini! Bawa barang-barang kotormu dan pergi! PERGI dari rumah ini! Dan, ingat jangan pernah pamerkan lagi margamu. Marga keluarga ini suci, tak untuk orang sekotor kau! SUNDAL!” Ayah menegak lagi alkoholnya, botol kesepuluh.

      Ah, makin kacau saja! Huh!

* * *

Dan, sekarang di sinilah aku. Rumahku, (bukan) istanaku karena pria-pria buncit bebas keluar-masuk kapan saja untuk menikmati vaginaku, tentunya dengan bayaran minimal Rp200.000  per malam, belum termasuk tip yang harus diberikan kalau mereka orgasme.

Dan, sekarang di sinilah Maida. Rumahnya, (bukan) istananya karena pria-pria buncit bebas keluar-masuk kapan saja untuk menikmati vagina Maida yang sudah divaginoplasti, tentunya dengan tarif minimal Rp200.000 per malam, belum termasuk tip yang semestinya diberikan kalau mereka orgasme.

      Tapi, terkadang ada pula pria pelit yang tak mau memberikan tip meski sudah dilayani sedemikian rupa.

      Tapi, terkadang ada pula pria pelit yang tak mau memberikan tip meski sudah dilayani sampai ah ih uh orgasme.

      Dari situlah, aku belajar: lihat dulu KTP pelanggan sebelum melayani. Catat alamatnya. Tak ada tip, berarti lapor kepada istri. Gampang, kan?

      Dari situlah, Maida belajar: lihat dulu KTP pelanggan sebelum melayani. Catat alamatnya. Tak ada tip, berarti lapor kepada istri. Gampang, kan?

      Ah, selesai!

* * *

“Nyonya Hutabarat. Hhh! Ngko1 suka nulis juga, ya?”
      “Dari mana ngko tahu margaku?!”
      “Kan, ngko sendiri yang nyelipin KTP ngko di antara tulisan ngko.”
      “Kenapa ngko buka-buka?! Itu masa laluku, Jo!”
      “Aku tak peduli masa lalu ngko. Aku tak peduli kalau ngko dulu diperkoskos supir angkot. Aku tak peduli. Aku cinta ngko!”
      “Ngko cuma mau pepekku!”
      “Ngko salah! Kalau aku cuma mau pepekmu, kenapa aku tak pernah tidurin ngko?! Aku cinta ngko, Maida.”
      “Aku cuma lonte!”
      “Aku tak peduli, nak2 ngko itu lonte, nak ngko itu manager hotel, aku cinta ngko. Ngko mau, kan, terima cintaku?”
      “Aku tak tahulah. Ngko punya istri dan dua anak di rumah. Kasihan mereka.”
      “Aku sudah cerai istriku sebulan yang lalu, setelah aku lihat ngko untuk yang pertama kalinya.”
      “Ngko bohong! Dan, aku pun tak mau lagi jatuh cinta. Ngko pergi saja, lah! Aku tak bisa! Maaf, Jo! Aku tak bisa.”





Tanjungpinang, April 2010

1     Kamu, engkau
2     Mau
Related Posts with Thumbnails

Asa + Blog = Standing Ovation!